Tantangan Pelayanan Transportasi di Era Digital

Tantangan Pelayanan Transportasi di Era Digital

Tags: ITB4People, Community Services, Pengabdian Masyarakat, SDGs9

Sejak layanan angkutan online (daring) beroperasi, hingga kini pemerintah di banyak negara gagap mengaturnya, termasuk di Indonesia. Padahal, bayangkan kalau layanan itu nanti berkembang sehingga dapat merancang itenary perjalanan dan aktivitas kita sehari-hari.

Sebut saja mereka para agregator, ber­saing melayani pesanan kita melalui telepon pintar. Tugas kita tinggal memilih yang pa­ling kompetitif dan efisien, termasuk menga­komodasi perjalanan ke luar negeri lengkap dengan perpindahan antarmoda. Itu ditam­bah kegiatan di sela perjalanan yang bisa sekalian dipesan bila sudah pasti.

ACES (autonomous, connected, electrified, sharing) ialah ciri pengembangan layanan mobilitas di masa revolusi industi 4.0, dan kalau sajiannya juga mencakup layanan non­transportasi, ia masuk kategori society 5.0.

Pengembangan layanan transponasi 4.0 sedang berpacu di banyak negara. Uji coba marak dilakukan. Di Indonesia pun kita sudah mulai melakukan desk study sambil bersiap melakukan piloting di rencana ibu kota negara (IKN) yang ingin dirancang se­bagai kota pintar.
 
Layanan transportasi 4.0 pada umumnya ditandai dengan digitalisasi dan otomati­sasi dalam sajian layanan menggunakan teknologi canggih, seperti internet of things (IoT), artificial intelligence, big data, cloud computing. 3D printing, dan 5G. Tulisan singkat ini ingin menyampaikan pesan penting di tengah kajian yang masih terus berlangsung.

Gagasan untuk 'mengintegrasikan' sistem lalu lintas dan jalan melalui intelligent vehicle highway system (TVHS) sudah dimulai di Amerika Serikat (AS) sejak pemberlakuan undang-undang federal lntermodal Surface Transporracion Efficiency Act of 1991 ketika era Perang Dingin berlangsung dan dana riset berlimpah. Anehnya, di negara itu pun hingga saat ini belum terlihat perubahan besar dan implementasi yang berarti walau upaya riset masih terus berlangsung.

Di sisi lain, awal 2020, Presiden Joko Widodo mencanangkan cita-cita bahwa kendaraan yang akan beroperasi di ibu kota baru kelak hanyalah kendaraan listrik oto­nom (KLO). Diperkirakan, beberapa dekade dari sekarang Indonesia akan menghadapi implementasi besar-besaran dari konsep mobility as a service (MaaS).
 
Layanan berbasis konsep tersebut akan memadukan beragam moda angkutan umum secara digital dengan mjuan agar warga kota tidak lagi bergantung kepada angkutan pribadi karena rantai layanan Maas yang nyaman dan lebih murah. Karena kemajuan teknologi IT bergerak sangatlah cepat, niat menerapkan MaaS dan kendaraan otonom masa depan tidak dapat dilakukan sembarangan. Dibutuh­kan test bed untuk memastikan keamanan penggunaan kendaraan otonom di area perkotaan yang lebih luas dengan beragam kondisi lapangan. Balitbang Kementerian Perhubungan bersama ITB saat ini juga se­dang mengkaji ekosistem driverless untuk persiapan implementasi KLO di IKN.

Selain ekosistem uji coba, implementasi KLO membutuhkan industrial dan regulatory sandboxing secara khusus, semacam kemudahan atau kelonggaran bereksperimen untuk membuktikan konsep dan nilai tambah. Yang paling mendasar, karena eksperimen KLO akan menyentuh banyak lintas subsektor, seperti telekomunikasi, teknologi finansial, keamanan siber, serta kerahasiaan data pribadi, kebutuhan akan hadirnya badan koordinasi khusus yang dapat memastikan kelancaran uji coba itu akan menjadi suatu keniscayaan.

Hingga saat ini, lembaga semacam itu belum terbentuk. Aturan sandboxing pen­dukungnya juga belum ada. Namun, tim penelitian hingga saat ini sudah menyiapkan roadmap implementasi KLO.
 
Pada 2021, misalnya, tim sudah meren­canakan fitur infrastruktur, juga merumus­kan kebijakan dan bentuk badan regulasi KLO. Kemudian pada 2022, penetapan lokasi uji, ragam dukungan R&D untuk menrapai autonomous vehicle SAE level 3, serta per­luasan cakupan 4G & 5G.

Pada 2023, diproyeksikan uji coba KLO autonomous vehicle SAE level 3. merumuskan kebijakan R&D untuk mencapai autonomous vehicle SAE level 4, serta pengujian network 4G & 5G.
 
Pada 2024 akan dilakukan pengujian KLO autonomous vehicle SAE level 4, survei kepuasan konsumen KLO, dan perancangan kebijakan R&D untuk mencapai autonomous vehicle SAE level 5. Kemudian, pada 2025, dilakukan uji coba KLO level 4 serta piloting KLO level 5 pada lingkungan terbatas di rencana IKN.

Transportasi dan big data

Menurut Michael Batty (2013), big data adalah segala jenis data yang jumlahnya melebihi kapasitas spreadsheet excel. De­ngan kata lain, big data ialah masifnya vo­lume data historis sepanjang waktu instan, yang dapat diteliti karakteristik dan relasi antar atributnya untuk menjelaskan tren dan fenomena tertentu. 

Big data ialah salah satu sumber yang melekat dari hasil monitoring data secara terus-menerus seperti lokus GPS. Sebagai contoh, dari sudut pandang transportasi, sifat big data yang masif mempunyai ke­unggulan jika dibandingkan dengan data konvensional. Fitur big data itu dapat Jebih lanjut membantu dalam perancangan IKN, juga dalam perancangan dan permodelan transponasi.
 
Big data dapat membantu grand design seperti skenario kota yang membutuhkan data studi dalam jumlah besar. Misalnya pada sektor transportasi ialah penggunaan informasi yang dihasilkan aplikasi perang­kat telepon seluler pintar (smartphone). Hasil penambangan dan pengolahan big data yang dapat mendeteksi tren dan peri­laku yang tidak terduga, dan memberikan peluang perencanaan, juga pemasaran men­jadi lebih fleksibel dan adaptif. Penerapan account-based ticketing (ABT) dalam layanan jaringan angkutan umum sedang banyak diadaptasi di kota-kota mancanegara.

Peluang implementasi selanjutnya
 
Layanan transportasi 4.0 mempunyai ke­unggulan seperti pada era pandemi covid-19 saat ini. Penyedia jasa serta bisnis pereko­nomian berbasis daring memanfaatkan big data untuk survival dan berkembang lebih pesat. Karakteristik warga pun berubah, kini bekerja dari rumah (WFH) dan belanja da­ring sudah menjadi hal normal--kebiasaan. Misalnya, Shamshiripour dkk (2020) menunjukkan ada peningkatan signifikan dalam teleworking dan online shopping selama pandemi di Chicago, dengan 71% pekerja WFH selama pandemi tidak pernah mela­kukan WFH sebelum pandemi.

Mereka juga menunjukkan 45% dari me­reka barn berbelanja daring saat pandemi dan 67% baru berbelanja kebutuhan rumah via daring. Beck dan Hensher (2020) juga mengonfirmasikan kejadian itu. Mereka me­nunjukkan bahwa 47% responden Australia tidak pernah WFH sebelum pandemi 
Peran layanan transportasi 4.0 selama covid-19 ini memberikan kita gambaran bagaimana kemajuan teknologi ini sangat ba­nyak manfaatnya. Karena itu, sangat sayang jika kita tidak dapat mengembangkan eko­sistem untuk mempermudah baik uji coba layanan transportasi lanjutannya maupun sektor lainnya bagi para inventor lokal. Atau kita bersiap untuk kembali gagap mengha­dapi gelombang kemajuannya yang terus mendesak dan terpaksa kita turuti dan tak berdaya untuk turut memasok kandungan teknologi dalam negeri. (M-2)

2252

dilihat