Predective Analysis untuk Optimalkan Keamanan Penerbangan

Pertanyaan besar muncul di maskapai penerbangan ketika ICAO menerbitkan dokumen ICAO DOC 9589 edisi ketiga tahun 2013. Dokumen ini memuat praktik standar terkait Safety Management System yang secara khusus mengatur Acceptable Level of Safety Performance (ALoSP) maskapai penerbangan. Dalam dokumen tersebut, ICAO mengisyaratkan agar masing-masing maskapai penerbangan mendefinisikan safety performance mereka dalam bentuk yang lebih terukur (kuantitatif). Namun pertanyaan besar kemudian muncul karena dokumen tersebut tidak menyebutkan bagaimana ALoSP ini dapat diimplementasikan.

Seiring dengan penerbitan dokumen ICAO tersebut, negara-negara Eropa kemudian mendefinisikan target safety level transportasi udara mereka yang dituangkan dalam dokumen Flightpath 2050 Europe’s Vision for Aviation. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa target safety level transportasi udara di Eropa adalah sebesar 1E-07, yang berarti bahwa dalam tiap 10 juta penerbangan, hanya boleh terjadi maksimal satu kecelakaan.

Berdasarkan angka tersebut, maskapai penerbangan di Eropa mulai mendefinisikan safety level mereka masing-masing meski dalam implementasinya, belum ada satupun maskapai penerbangan yang memiliki metode untuk mengevaluasi target safety level tersebut. Kesulitan ini disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, belum tersedia data yang dapat mengindikasikan kejadian kecelakaan di dalam maskapai penerbangan tersebut. Padahal berdasarkan pendekatan klasik, probabilitas kejadian kecelakaan dihitung berdasarkan jumlah kecelakaan yang dialami dibagi dengan jumlah penerbangan yang dioperasikan. Sehingga jika belum ada satupun data yang mengindikasikan kejadian kecelakaan di sepanjang jumlah penerbangan yang telah dijalani oleh suatu maskapai penerbangan, maka probabilitas yang diperoleh adalah nol, yang juga berarti bahwa safety level maskapai tersebut sangatlah aman. Namun benarkah demikian?

Kedua, dari semua maskapai penerbangan yang ada saat ini, belum ada satupun maskapai yang telah menyelesaikan 10 juta penerbangan sepanjang sejarah berdirinya maskapai tersebut. Dengan demikian, pendekatan klasik dalam mengevaluasi safety level tidak dapat diterapkan; diperlukan pendekatan lain untuk mengkaji safety level tersebut.

Predictive Analysis

Di dalam dunia keselamatan pesawat udara, terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keselamatan diantaranya adalah tindakan reaktif dan proaktif. Tindakan reaktif dilakukan apabila sudah terjadi kecelakaan. Dalam implementasinya, tindakan ini dilakukan agar kecelakaan yang serupa tidak terjadi kembali. Dilain sisi, tindakan proaktif dilakukan sebelum kecelakaan namun ada indikasi ke arah terjadinya kecelakaan sehingga tindakan proaktif perlu diambil agar kecelakaan tersebut dapat dihindari. Tindakan proaktif ini mengandalkan analisis data operasi masa kini untuk mengenali potensi bahaya yang mungkin timbul, mengkaji risiko bila potensi bahaya tidak ditangani dengan baik dan memperkirakan peluang kejadian kecelakaan pada masa depan. Tindakan reaktif sering dikaitkan dengan pendekatan masa lampau sedangkan pendekatan proaktif dikaitkan dengan masa kini dan yang akan datang.

Kemajuan di bidang teknologi—khususnya dalam penyimpanan data digital dan kemajuan komputer mengolah berbagai macam tipe data dalam jumlah yang masif—memunculkan metode-metode baru. Salah satunya adalah predictive analysis. Metode predictive analysis memungkinkan analisis banyak data untuk digunakan bersamaan dengan model sistem yang dikaji. Data tersebut telah tersedia dan terekam dalam sistem pesawat udara dalam jumlah yang masif sepanjang sejarah operasi oleh maskapai yang bersangkutan, sehingga dapat dikaji untuk mengenali pola kejadian yang dianggap berpotensi bahaya dan mengenali parameter yang berpengaruh, serta memperkirakan probabilitas kejadian di masa depan. Data yang digunakan tidak harus mengandung data kecelakaan namun dapat berupa data operasi penerbangan normal. Apabila dikaitkan dengan tindakan safety, predictive analysis dikategorikan ke dalam tindakan yang bersifat pencegahan untuk kejadian yang akan terjadi (di masa depan).

Berdasarkan definisinya, predictive analysis adalah pengambilan kesimpulan berdasarkan data yang dikombinasikan dengan model dari sistem yang dikaji. Hasil pendekatan secara statistik berdasarkan data masif dari banyak penerbangan dapat ditingkatkan secara signifikan apabila dibantu dengan model yang akurat dari sistem yang dianalisis. Dalam konteks dunia penerbangan, model disini adalah model dinamika gerak pesawat udara yang sudah teruji tingkat keakuratannya, dimana model yang sama ini juga digunakan pada simulator pesawat udara yang pada umumnya digunakan pilot untuk berlatih menerbangkan pesawat udara.

 

Secara khusus, pendekatan predictive analysis yang digunakan dalam dunia penerbangan telah diformulasikan secara lengkap oleh tim ahli—termasuk penulis—di Institute of Flight System Dynamics, Technical University of Munich, Jerman. Metode ini disebut sebagai the 7-Step of TUM-FSD Predictive Analysis. Metode ini diawali dengan langkah define, model, identify, cumulate, calibrate, revise, dan diakhiri dengan predict.

  1. Define. Pada tahapan define dilakukan pendefinisian incident metric (IM) dalam bentuk safety margin (SM). Pada umumnya, pertidaksamaan digunakan sebagai sarana untuk menentukan batas terjadinya accident maupun incident. Sebagai contoh, untuk kasus Runway Overrun (RO), safety margin-nya dapat berupa panjang landasan yang tersedia  dikurangi dengan jarak pendaratan. Jika jarak tempuh melebihi panjang landasan maka pesawat telah mengalami accident/incident atau untuk kasus lain seperti Controlled Flight Into Terrain (CFIT), maka safety margin-nya dapat berupa time to hit. Ketika nilai safety margin ini lebih kecil atau sama dengan nol maka pesawat dikatakan telah menyentuh terrain (telah terjadi incident/accident).
  2. Model. Langkah berikutnya adalah memodelkan sistem yang dikaji dan kemudian menghubungkannya dengan safety margin yang telah didefinisikan. Pemodelan diawali dengan model dinamika gerak pesawat yang relatif kompleks dalam bentuk six degree of freedom (6-DoF) dan kemudian dikurangi tingkat kompleksitasnya menyesuaikan ke model incident yang akan dikaji.
  3. Identify. Langkah ketiga adalah melakukan identifikasi parameter yang ada di dalam model sistem. Dalam langkah ini, teknik System Identification biasanya diterapkan untuk mengestimasi parameter-parameter yang terdapat dalam model. Metode statistik yang umum digunakan seperti Maximum Likelihood yang dikombinasikan dengan beberapa metode optimasi maupun Kalman Filter diterapkan pada tahap ini.
  4. Cumulate. Pada bagian cumulate dilakukan distribution fitting untuk mencocokkan data dengan distribusi yang ada sehingga proses sampling untuk tujuan simulasi dapat dilakukan dengan mudah. Prinsip Maximum Likelihood kembali digunakan untuk proses fitting-nya sedangkan beberapa kriteria untuk pemilihan kecocokan distribusi seperti Negative Log-Likelihood, Kullback-Leibler divergence, Akaike Information Criteria, Bayesian Information Criteria, Integrated Quadratic Distance, dan Mean Value Divergence digunakan dalam proses ini.
  5. Calibrate. Pada tahap ini dilakukan kalibrasi terhadap model incident beserta faktor-faktor yang berkontribusi terhadap model tersebut. Simulasi dilakukan pada fasa ini untuk menghasilkan output model dan kemudian dibandingkan dengan pengukuran yang ada. Apabila hasilnya tidak sesuai, baik model maupun inputnya dikalibrasi untuk memperoleh kesesuaian antara output model dan data hasil pengukuran.
  6. Revise. Langkah ini hanya dilakukan apabila terdapat perbedaan yang signifikan antara output model dengan pengukuran seperti yang dilakukan pada langkah calibrate. Penambahan kompleksitas model dengan melibatkan faktor-faktor yang berkontribusi lainnya atau pengurangan tingkat komplekasitasnya sehingga membuat model menjadi sederhana dapat dilakukan pada tahap ini.
  7. Predict. Langkah predict merupakan bagian terakhir dari ketujuh langkah pada metode predictive analysis. Pada tahap ini akan dikuantifikasi probabilitas terjadinya kecelakaan bersamaan dengan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan tersebut.

Di dalam praktiknya, ketujuh proses di atas sering sekali memerlukan proses iterasi bahkan sampai harus mendefinisikan ulang safety margin-nya disertai dengan model yang bersesuaian.

Untuk lebih memahami metode yang dipaparkan di atas, pada bagian berikut akan diberikan satu contoh implementasi predictive analysis pada data riil. Kasus yang diambil adalah runway overrun (RO) pada satu maskapai penerbangan yang beroperasi di Indonesia. Data yang digunakan berasal dari satu tipe pesawat tertentu dan mendarat pada satu landasan pacu. Jumlah data yang digunakan untuk studi kasus ini sebanyak 2.000 penerbangan.

 

Runway Overrun

Data penerbangan yang digunakan pada studi kasus ini berasal dari Airbus seri 300 yang dimiliki oleh maskapai dalam negeri. Berdasarkan metode yang dipaparkan di atas, tahap awal dilakukan dengan mendefinisikan incident metric (IM) dalam bentuk safety margin (SM) yang mengindikasikan terjadinya incident runway overrun (RO). Dalam kasus yang diambil, runway overrun terjadi apabila jarak landasan pacu yang ditempuh oleh pesawat (LD) lebih besar dibanding jarak pendaratan yang tersedia (LDA). Secara matematis pertidaksamaan ini diformulasikan sebagai,

SM=LDA-LD; SM<0→ Runway Overrun

Pada tahap kedua, dinamika gerak pesawat udara dimodelkan. Persamaan gerak pesawat udara secara umum diturunkan dari hukum Newton II yang dipengaruhi oleh beberapa gaya luar seperti gaya aerodinamika, propulsi, gaya gravitasi, dan gaya friksi akibat gesekan roda pendarat dengan permukaan landasan. Selain itu, faktor eksternal seperti kecepatan angin juga dilibatkan dalam persamaan yang dibentuk. Persamaan ini kemudian dikaitkan dengan SM yang didefinisikan di atas agar probabilitas terjadinya incident runway overrun dapat dikuantifikasi.

Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi parameter-parameter yang terdapat di dalam persamaan dinamika gerak yang dibentuk pada langkah model. Secara umum, terdapat dua tipe parameter yang membentuk persamaan dinamika gerak pesawat yaitu parameter yang terukur oleh sensor pesawat dan parameter yang tidak terukur. Parameter-parameter yang tidak terukur ini seperti koefisien turunan kestabilan pesawat udara, koefisien friksi landasan pacu, dan beberapa parameter yang terkait gaya dorong dapat diperoleh dengan metode estimasi. Prinsip Maximum Likelihood biasanya digunakan untuk melakukan estimasi parameter pada tahap ini.

Pada tahap keempat, dilakukan distribution fitting untuk menemukan karakteristik faktor-faktor yang berkontribusi terhadap model. Sekali lagi prinsip Maximum Likelihood diterapkan dalam proses fitting ini dan beberapa kriteria—seperti yang telah dipaparkan di atas—digunakan sebagai dasar pemilihan distribusi yang merepresentasikan data yang digunakan.

Langkah kelima adalah melakukan kalibrasi terhadap faktor-faktor yang berkontribusi terhadap model. Kalibrasi terhadap variabel input ini dihentikan apabila kesesuaian antara output model dengan hasil pengukuran telah diperoleh. Ada kalanya proses kalibrasi tidak menghasilkan perbaikan yang signifikan. Jika ini terjadi, tahap keenam atau revise harus dilakukan.

Pada tahap revise, struktur model sistem dapat berubah secara signifikan. Pengurangan ataupun penambahan kompleksitas model dilakukan sampai kesesuaian antara output model dengan hasil pengukuran diperoleh.

Langkah terakhir yaitu predict dilakukan dengan melakukan simulasi stokastik untuk mendapatkan probabilitas terjadinya runway overrun. Pada umummya teknik subset simulation dilakukan pada tahap ini karena angka yang akan dikuantifikasi bernilai sangat kecil. Perhitungan ketujuh langkah di atas tidak akan selesai hanya dalam satu siklus saja, namun diperlukan iterasi berulang kali.

Berdasarkan hasil simulasi yang diimplementasikan pada data dan landasan pacu yang dipilih, diperoleh kemungkinan terjadinya runway overrun sebesar 2,45E-07. Angka ini sangat kecil dan dapat diterjemahkan bahwa pada maskapai penerbangan tersebut, untuk tipe pesawat dan landasan pacu yang dipilih, runway overrun akan terjadi setelah penerbangan yang ke-24,5 juta. Nilai ini mengindikasikan kondisi yang sangat aman. Hasil yang diperoleh ini juga banyak mengkonfirmasi kondisi lapangan yang cukup aman dimana landasan pacu yang didarati relatif panjang. Kondisi ini memberikan ruang yang cukup bagi pilot untuk melakukan pengereman dan berhenti jauh sebelum ujung landasan pacu. Selain itu, pada landasan pacu ini, belum ada catatan terkait terjadinya runway overrun.

Selain menghasilkan nilai probabilitas, pendekatan predictive analysis juga memberikan gambaran terkait faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan. Dari sisi manajemen, kelebihan metode ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan perubahan terhadap safety culture di maskapai penerbangan tersebut. Sebagai contoh, berdasarkan predictive analysis diperoleh bahwa Maximum Takeoff Weight (MTWO) pesawat udara berperan signifikan terhadap terjadinya runway overrun pada suatu bandara dan landasan pacu tertentu. Maka untuk meningkatkan tingkat keselamatan pesawat udara ketika mendarat, kebijakan baru terkait perubahan nilai MTOW dapat dikeluarkan.

Dengan keunggulan yang ditawarkan, sudah sebaiknya metode ini diadopsi menjadi bagian dalam Safety Management System (SMS) maskapai penerbangan. Selain memberikan gambaran terkait ALoSP seperti yang diisyaratkan dalam dokumen ICAO, predictive analysis juga menghasilkan faktor-faktor yang berkontribusi sehingga perbaikan tingkat keselamatan dan pencegahan terjadinya kecelakaan dapat dilakukan sedini mungkin.

1290

dilihat