Memetakan Potensi Alam Kota Seribu Gumuk
Tags: ITB4People, Community Services, Pengabdian Masyarakat, SDGs13
Keberadaan jalur cincin api (ring of fire) yang melintasi Nusantara menimbulkan manfaat sekaligus mudarat bagi bangsa Indonesia. Banyaknya jalur gunung api dan jalur gempa bumi berisiko memantik bencana. Akan tetapi, potensi kekayaan alam baik yang terdapat di bawah dan di atas permukaan bumi merupakan kelebihan atau anugerah. Potensi kekayaan alam tersebut, kalau kita mampu mengelolanya dengan baik, akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, jika kita tidak cakap mengelolanya, bencana jualah yang akan timbul.
Melalui Riset Unggulan ITB tahun 2021 yang berjudul Analisis Spasio-Temporal Sebaran Gumuk Gunung api untuk Mengidentifikasi Potensi Bahan Galian Pasir-Bacu di Wilayah jawa Timur Bagian Selatan, penulis dan anggota tim peneliti pun mencoba memetakan potensi alam di 'Kata Seribu Gumuk', yang tepatnya bertempat di wilayah Kabupaten Jember dan sekitarnya. Tim beranggotakan peneliti dari Kelompok Keahlian Eksplorasi Sumber Daya Bumi (ESDB) FTTM ITB, Kelompok Keahlian Petrologi, Volkanologi, dan Geokimia (PVG) FITB ITB, peneliti dari Program Studi Teknik Pertambangan FT Universitas Jember (UNEJ), serta beberapa mahasiswa dari Program Studi Sarjana Teknik Pertambangan dan Magister Rekayasa Pertambangan FTTM ITB.
Kehadiran dua gunung api, yaitu Gunung Raung (masih aktif di sisi timur dan Gunung Argopuro (sudah tidak aktif) di sisi barat laut dari wilayah ini menjadi kunci utama kehadiran produk-produk letusan gunung api yang membentuk gumuk alias bukit pasir.
Secara morfologi, gumuk pada umumnya berupa bukit-bukit kecil terisolasi yang ditumbuhi oleh vegetasi yang relatif lebih lebat daripada lingkungan sekitarnya. Komposisi material gumuk pada umumnya berupa batu-batu berukuran kerakal sampai bongkah yang tertanam pada massa dasar berupa pasir.
Dengan demikian, gumuk memiliki potensi bahan galian berupa sirtu (pasir dan batu) yang merupakan material konstruksi.
Sehagian dari gumuk yang berukuran besar ditambang oleh masyarakat, seperti yang terdapat di Kecamatan Sukowono, Sumber- jambe, Ledokombo, dan Kalisat, baik menggunakan alat gali mekanis maupun dipecahkan secara manual menggunakan palu. Bahan galian sirtu tersebut dijual sebagai material konstruksi, baik untuk pembangunan jalan maupun fondasi bangunan.
Sebagian lokasi bekas tambang sirtu (bekas gumuk) telah ditata dan dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi, misalnya untuk kolam pemancingan atau lokasi rumah makan seperti yang dijumpai di wilayah Kecamatan Sumbersari, Jember, yang dekat dengan pusat kota.
Memetakan sebesaran gumuk di wilayah Jember
Penulis dan tim melakukan survei lapangan pertama pada 30 Maret sampai dengan 7 April 2021 dengan didampingi oleh salah satu pemilik IUP (izin usaha pertamhangan) batuan di wilayah Jember, yaitu PT Sedaya Berkah Sentosa (SBS). Survei awal ini bertujuan untuk memetakan sebaran dan potensi gumuk di wilayah Jemher secara langsung dengan membagi target menjadi tiga wilayah: wilayah utara (Sukowono, Sumherjambe), tengah (Ledokombo, Kalisat, Pakusari) dan selatan (Mayang, Kalisat, Sumbersari) dengan asumsi bahwa sumber material gumuk berasal dari Gunung Raung.
Selain itu, juga dilakukan pengambilan sampel fragmen batuan dari 13 lokasi sebaran gumuk. Sampel lalu dianalisis petrografi di Laboratorium Mineralogi Mikroskopi dan Geokimia FTTM ITB. Uji petrografi dan uji XRF (X-Ray Fluorescence) dari 13 sampel material gumuk dilakukan untuk mengetahui jenis haman yang menyusun gumuk dan secara umum dapat diinterprerasikan terdapat dua jenis material yang menyusun gumuk di Jember, yaitu breksi tufaan dan pasir tufaan.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Jember (1992), wilayah penelitian dirumpi oleh tiga formasi batuan yaitu Formasi Bagor yang berupa breksi konglomerat, bampasir tufaan dan batupasir; Formasi Gunung api Raung yang terdiri dari lava, breksi gunung api, breksi lahar dan tufa: Tufa Argopuro yang herupa tufa, tufa sela, tufa abu, dan tufa lava.
Pengamatan sebaran gumuk pada kondisi awal dilakukan berdasarkan pada citra SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) tahun 2000 dari NASA, badan antariksa Amerika Serikat. Setelah itu, analisis multitemporal berdasarkan citra ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) dari NASA dilakukan untuk menginterpretasi perubahan sebaran jumlah gumuk serta luasannya setelah tahun 2000 sampai dengan 2020.
Hal ini digunakan untuk memperkirakan, dalam kurun waktu sekitar 20 tahun tersebut, herapa banyak gumuk yang sudah habis atau sedang ditambang,dan di lokasi mana saja. Dengan begitu, pada akhirnya bisa diperkirakan jumlah dan luasan gumuk yang masih tersisa di wilayah Jember ini.
Selanjutnya, survei geofisika dengan metode geofisika (geolistrik tahanan jenis) di beberapa lokasi bekas tamhang juga dilakukan pada 23 Agustus sampai 29 Agustus 2021. Survei itu untuk mendapat gambaran mengenai pola sebaran material sirtu yang tersisa dibawah permukaan. Pada survei ini, tim peneliti dibantu oleh beberapa mahasiswa dari Program Studi Teknik Pertambangan UNEJ sekaligus sebagai sarana bagi mereka untuk belajar di lapangan.
Optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam
Hasil dari penelitian yang masih berproses ini diharapkan dapat menjadi dasar dan bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, terutama bahan galian. Dengan begitu, daerah dapat tetap mengupayakan peningkatan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan kesetimbangan lingkungan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat melengkapi hasil kajian sehelumnya oleh pemerintah daerah ataupun peneliti lain, baik dari dari UNEJ mau pun perguruan tinggi lainnya.
Berdasarkan pengamatan selama survei lapangan dan diskusi dengan peneliti dari UNEJ dan staf SBS, penulis mendapatkan gambaran bahwa selain gumuk sirtu, wilayah Jember juga memiliki potensi bahan galian lain, yaitu bijih besi, batu kapur, mangan, dan emas. Pemetaan terhadap semua potensi bahan galian tersebut merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dan peneliti dari perguruan tinggi setempat.
Selain itu, perlu dilakukan kajian terhadap proses pengolahan bahan galian untuk memberikan nilai tambah. Bagaimanapun, keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam setempat dan pelestarian lingkungan senantiasa perlu dijaga. Pasalnya, jika sampai terjadi bencana, masyarakat sekitar juga yang akan terkena dampaknya. Beberapa contoh pemanfaatan lokasi bekas tambang yang sudah ada dapat dijadikan rujukan. Namun, penataannya memerlukan arahan dan pengawasan dari pemerintah daerah setempat. (M-2)