Dampak Perubahan Pantai terhadap Batas Laut Negara

Dampak Perubahan Pantai terhadap Batas Laut Negara

Tags: ITB4People, Community Services, Research ITB, SDGs13

Penelitian ini merupakan studi lanjutan dari Kelompok Keahlian (KK) Hidrografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) Institut Teknologi Bandung (ITB) atas hasil penelitian Eka Djunarsjah dkk (2019) yang menemukan adanya 'keanehan' beberapa titik dasar dan garis pangkal yang digunakan untuk penetapan batas laut negara.

Seperti diketahui, titik-titik dasar dan garis-garis pangkal yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2002 temang Daftar Koordinat Geografis Titik­Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dan revisinya berupa Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2008, telah didepositkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Maret 2009.

Selanjutnya titik-titik dasar dan garis-garis pangkal tersebut digunakan sebagai dasar untuk menetapkan garis-garis batas laut negara, yaitu masing-masing Laut Teritorial sejauh 12 mil laut, Zona Tambahan sejauh 24 mil laut, sena Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen sejauh 200 mil laut dari garis-garis pangkal, dengan setiap segmen garis pangkal dibentuk oleh dua titik dasar.
 
Keanehan atau sebut saja sebagai penyimpangan beberapa titik dasar dan garis pangkal tersebut membawa pada suatu kesimpulan telah terjadinya perubahan pada pamai atau sering juga disebut sebagai 'dinamika pantai'. Penyimpangan yang dimaksud berupa garis pangkal yang memotong daratan, titik dasar yang terletak di daratan, titik dasar yang berada terlalu jauh dari daratan, dan adanya garis pangkal yang tidak berimpit dengan titik dasar.

Salah satu contoh adanya garis pangkal yang memotong daratan terjadi di sepanjang muara Sungai Peusangan, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh. Penyimpangan tersebut dapat menjadi indikasi adanya perubahan garis pantai yang disebabkan oleh dinamika dan interaksi amara lingkungan daerah aliran sungai (DAS), wilayah pesisir, dan bagian lam itu sendiri. Oleh karena ini, tujuan mama dari salah satu penelitian di KK Hidrografi pada 2021 ialah analisis tentang dampak dinamika DAS dan pantai terhadap perubahan garis pantai serta implikasinya terhadap batas laut negara dan sekaligus batas laut daerah (provinsi) yang juga ditetapkan sejauh 12 mil laut dari garis pantai.

DAS Peusangan berada pada rentang koor­dinat 4°30'00" Limang ° Utara (LU) hingga 5°17'30" LU, dan 96° 27'00" Bujur Timur (BT) hingga 97°27'00" BT. DAS Peusangan memiliki hulu sungai yang berada di daerah pegunungan dan melintasi lima kabupaten/kota hingga akhimya bermuara di Laut Bireuen, Selat Malaka. Hulu Sungai Peusangan berada di Danau Laut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, dan aliran sungai mengalir melalui Kabupaten Bener Meriah, Aceh Utara, Bireuen, dan Kota Lhokseumawe. Luas DAS Peusangan mencapai 238.550 hektare. Panjang sungai dari Danau Laut Tawar hingga ke pesisir laut Bireuen sepanjang 128 kilometer.

Perubahan iklim 

Menurut Knowledge Centre Perubahan lklim Indonesia Climate Innovation in Action (KCPI IC ICan) pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, iklim merupakan cuaca rata-rata variabel kuantitas seperti temperatur, curah hujan, dan/atau angin yang berada dalam keadaan atmosfer di suatu waktu tertentu seperti dalam rentangwaktu bulanan hingga tahunan. Penyusunan skenario perubahan iklim dilakukan dengan mengamati perubahan kondisi iklim dalam rentang waktu 30 tahun yang mengacu pada World Meteorological Organization (WMO) tentang normal iklim yang didefinisikan sebagai rata-rata data iklim yang dihitung untuk jangka waktu yang seragam dan relatif panjang, terdiri atas setidaknya tiga periode 10 tahun berturut-turut. 

Interaksi DAS dan pesisir dipengaruhi oleh perubahan iklim (Phan dkk, 2011). Perubahan iklim ditandai dengan adanya kenaikan suhu udara, perubahan waktu dan pola hujan, serta kenaikan muka air laut (IPCC, 2014). Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, perubahan iklim menyebabkan perubahan dinamika DAS dan pantai. Efek dari perubahan iklim di antaranya ialah memengaruhi pola temporal dan spasial sedimentasi (Marshall & Randhir, 2008), kehilangan tanah lebih tinggi di daerah dengan variabilitas curah hujan dan limpasan yang tinggi (Carpenter dkk, 2011), meningkatkan banjir pesisir, serta merendam wilayah pesisir dan muara (Najjar dkk, 2010). Salah satu peristiwa perubahan iklim yang terjadi di Indonesia ialah pola perubahan pola hujan (Susilokarti dkk, 2015) sehingga sedimentasi DAS dan pesisir mungkin dapat menyebabkan perubahan terhadap fisik lingkungan. 

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) III yang mengatur secara komprehensif tentang penggunaan laut dan sumber daya laut, memang tidak secara eksplisit menyebutkan dampak hukum perubahan garis pangkal dan batas laut negara (sering juga disebut batas maritim) yang diakibatkan oleh sedimentasi DAS, erosi pantai dan kenaikan permukaan laut, dapat mengklaim zona maritim (wilayah laut berdasarkan UNCLOS Ill) yang baru (Gagain, 2012).

Tutupan Lahan

Menurut UU No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, tutupan lahan atau penutup lahan merupakan garis yang menggambarkan batas penampakan area tutupan di atas permukaan bumi yang terdiri dari bentang alam dan/atau bentang buatan. Tutupan lahan dan perubahannya akan memengaruhi laju erosi dan sedimentasi dari suatu DAS karena tutupan lahan akan menentukan laju erosi sebagai akibat dari kecepatan jatuhnya air hujan. Kecepatan jatuh air hujan akan melambat saat mengenai vegeiasi atau kanopi sebelum menyentuh tanah sehingga gaya pembangkit erosi berkurang (Arsyad, 2010). Perubahan tutupan lahan yang terjadi pada wilayah hulu DAS terutama di wilayah hutan akan membuat lahan-lahan menjadi terbuka, terdegradasi dan menjadi kritis sehingga akan mudah tererosi. Perubahan tutupan lahan di wilayah DAS akan memengaruhi karakteristik hidrologi seperti erosi dan sedimemasi dari DAS tersebut. Konversi lahan dari hutan menjadi lahan terbuka merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam peningkatan laju erosi yang terjadi di wilayah DAS dan secara langsung memengaruhi perpindahan sedimen (Poerbandono dkk, 2006).

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa jika terjadi perubahan pada tutupan lahan, jumlah hasil sedimen akan berubah dalam arah yang sama. Hal tersebut didukung dengan hasil identifikasi yang menunjukkan bahwa jumlah hasil sedimen meningkat saat terjadi perubahan dari tutupan lahan dengan pertahanan kuat terhadap erosi menjadi tutupan lahan dengan penahanan lemah terhadap erosi (misalnya dari hutan ke lahan pertanian). Sebaliknya, jumlah hasil sedimen menurun saat terjadi perubahan dari tutupan lahan dengan pertahanan lemah terhadap erosi menjadi tutupan lahan dengan pertahanan kuat terhadap erosi (misalnya dari lahan terbuka ditanami kembali menjadi ladang). Dari hasil identifikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan tutupan lahan yang terjadi berpengaruh pada jumlah hasil sedimen yang keluar dari sistem DAS dan mencapai titik keluar (outlet) dari DAS Peusangan.

Sedimen yang terbawa oleh arus sungai akan mengalir hingga ke muara sungai. Hal itu akan membuat interaksi antara arus sungai dan arus dari laut sehingga akan terjadi dinamika di wilayah pesisir. Apabila arus dari laut ke daratan lebih dominan, akan membuat sedimen yang terbawa menjadi terdeposisi di wilayah muara sungai sehingga wilayah muara sungai dan pesisir di sekitarnya mengalami sedimemasi. Sebaliknya, apabila arus yang meninggalkan pantai lebih dominan, akan menyebabkan tergerusnya sedimen yang berada di wilayah pantai yang disebut dengan erosi. Adanya dinamika pantai seperti ini juga dapat diamati dari perubahan garis pantai dari tahun ke tahun. Apabila dari pengamatan garis pantai (batas penemuan antara daratan dan lautan) diperoleh garis pantai yang bergeser ke arah laut, dapat disimpulkan pada area tersebut terjadi sedimentasi. Sebaliknya, apabila garis pantai bergeser ke arah daratan, pada area tersebut mengalami erosi. Sungai Peusangan yang bermuara di Kuala Ceurape, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, menyatu dengan Selat Melaka. Berdasarkan pengamatan perubahan garis pantai menggunakan Citra Satelit SPOT dengan resolusi 1,5 meter selama empat tahun (2016-2020), dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir yang berada di sekitar muara sungai itu mengalami akresi atau proses penambahan daratan ke arah laut dengan kecenderungan rata-rata pergerakan sebesar 9,0 meter. Fenomena ini terjadi akibat interaksi dari Sungai Peusangan dan Selat Malaka, di mana sedimen yang terdiri atas tanah, pasir, kerikil, dan batuan ikut terbawa oleh arus Sungai Peusangan. Dalam kurun waktu pengamatan empat tahun tersebut telah terjadi pola pergerakan sedemikian rupa yang menyebabkan terjadinya pembentukan endapan yang secara perlahan membuat garis pantai 'menebal' sehingga semakin bergeser ke arah laut. Dinamika pantai yang terjadi di muara Sungai Peusangan menyebabkan posisi titik dasar nomor 180 tidak dalam posisi terluar.

Batas laut negara yang dapat dipengaruhi oleh perubahan garis pamai di sekitar lokasi titik dasar nomor 180 adalah Laut Teritorial Zona Tambahan, Landas Kontinen, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang berbatasan dengan Malaysia. Laut Teritorial dan Zona Tambahan secara otomatis berubah secara penuh, yaitu sejauh 12 mil lam untuk Laut Teritorial dan 24 mil lam untuk Zona Tambahan karena tidak langsung berbatasan dengan wilayah negara lain atau disebut dengan unilateral boundaries dengan persyaratan jarak di antara kedua negara di laut lebih dari 48 mil Jam. Ada pun untuk Landas Kontinen dan ZEE, perlu ada penyesuaian karena jarak antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka kurang dari 400 mil laut, atau disebut dengan bilateral boundaries. Batas Landas Kontinen sudah disepakati dengan Malaysia melalui Agreement between the Government of Malaysia and the Government of Indonesia on the delimitation of the continental shelves between the two countries, 27 Oktober 1969, sedangkan batas ZEE belum disepakati sehingga perubahan garis pantai ini tentunya akan berdampak terhadap posisi Indonesia dalam perundingan nanti dengan Malaysia.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia Pasal 11, Indonesia dimungkinkan untuk memperbarui posisi titik dasar dengan menggunakan data survei terbaru. Hal ini perlu dilakukan untuk menguatkan klaim laut yang lebih luas, terutama untuk batas laut negara yang belum disepakati. Pembaruan lokasi titik dasar nomor 180 bisa disiapkan untuk perundingan selanjutnya dengan Malaysia untuk menentukan ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka.

Adapun untuk batas laut daerah (dalam hal ini adalah Provinsi Aceh), perubahan pantai tentunya akan mengubah juga garis pantai yang digunakan untuk menetapkan kewenangan daerah provinsi di laut yang menghadap perairan lepas, yaitu sejauh 12 mil laut dari garis pantai (pasang tertinggi). Hal itu berdasarkan Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. (M-4)

2309

dilihat