Peran Apoteker dalam Penanganan Kesehatan Mental
Tags: ITB4People, Community Services, Research ITB, SDGs3
Corona Virus Disease 2019 (covid-19) memasuki periode 1,5 tahun lebih sejak pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada Desember 2019 dan telah dinyatakan dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi global pada maret 2020 dan Pemerintah Indonesia menetapkan sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 (covid19.go.id, 2021). Data terbaru dari WHO pada 6 September 2021, terdapat 220,563,227 jumlah kasus terkonfirmasi dan 4,565,483 di seluruh dunia. Tidak bisa dipungkiri bahwa penyakit Covid-19 berdampak sangat luar biasa pada semua sektor kehidupan, termasuk aspek ekonomi, sosial, transportasi, pendidikan, industri manufaktur, industri farmasi dan kesehatan. Yang sangat mengejutkan, isu gangguan mental dan psikososial selama pandemik Covid-19 muncul menjadi trend di masyarakat. Angka kejadian kasus gangguan mental ditemukan lebih tinggi saat pandemik dibandingkan sebelum pandemik.
Pandemik Covid-19 merupakan stressor yang luar biasa bagi setiap orang termasuk pasien positif covid-19, pendamping keluarga pasien, orang yang sehat dan juga tenaga Kesehatan. Adanya kecemasan dan kepanikan yang muncul dapat memicu gejala gangguan mental seperti depresi dan kecemasan. Menurut WHO, gangguan mental adalah suatu kondisi sehat utuh dengan mampu menyadari pikiran, perasaa serta perilaku sehingga dapat produktif dan kolaboratif secara social dan ekonomi. Beberapa hal penyebab covid-19 menjadi stressor yaitu pertama, terkait dengan kebijakan lockdown ataupun karantina yang mengharuskan tinggal dirumah (stay at home), sekolah dari rumah (school from home), bekerja dari rumah (work from home), dan jaga jarak serta social (social and physical distancing). Kedua, adalah stigma tenaga kesehatan yang belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat karena tenaga Kesehatan dianggap mentransmisikan virus Covid-19. Ketiga, adanya cyberbullying terhadap pasien Covid-19 maupun yang sudah masuk tahap pemulihan dari hasil swab negatif. Keempat adalah isu paranoid dari masyarakat dengan ketakutan berlebih terhadap Covid-19, takut tertular, takut mengetahui hasil tes Covid-19, tidak mau bertemu orang luar, tidak mau keluar rumah, dan menimbun bahan pokok makanan. Kelima adalah adanya perasaan bersalah karena tidak dapat optimal mengurus anggota keluarga yang terinfeksi Covid-19 dan akhirnya meninggal. Kelima hal tersebut mengakibatkan adanya keterbatasan dalam beraktivitas, melakukan program kerja, dan bisnis sehingga konsekuensinya adalah stress, cemas, frustasi, bosan dan depresi. Fokus semua pihak terhadap transmisi global Covid-19 dapat mengalihkan perhatian publik dari gangguan mental yang ditimbulkan.
Untuk mendukung keberhasilan terapi dari pasien yang menderita gangguan mental, perlu adanya kolaborasi dan sinergisme peran dari beberapa pihak, yaitu professional kesehatan seperti dokter, apoteker, keluarga pasien dan lingkungan sekitar pasien dengan menggunakan model perawatan kolaboratif. Selama lebih dari 40 tahun, apoteker klinis telah berkontribusi pada model perawatan ini baik sebagai edukator, konselor maupun sebagai penyedia obat. Obat merupakan modalitas pengobatan utama dalam manajemen terapi pada gangguan mental. Oleh karena itu apoteker berada pada posisi yang sangat proporsional untuk meningkatkan layanan kesehatan dengan dari aspek promotive, preventif maupun kuratif. Meskipun penderita telah ditangani dengan pemberian obat, ternyata masih banyak kasus ketidak berhasilan terapi. Adapun yang melatarbelakangi adalah adanya ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat karena pasien menggunakan obat-obatan dalam jangka panjang minimal 6 bulan dan beberapa diantaranya mengalami efek samping obat. Sekitar 10% -30% penderita gangguan mental yang mengkonsumsi obat tidak membaik atau menunjukkan respons parsial bahkan muncul adanya gangguan fungsional, kualitas hidup yang buruk, memiliki pemikiran dan upaya bunuh diri, perilaku melukai diri sendiri, dan tingkat kekambuhan yang tinggi.
Apoteker sebagai tenaga kesehatan profesional bertanggung jawab dalam memberikan layanan kefarmasian, dukungan dan upaya pencegahan penyakit. Selain itu memberikan layanan informasi obat baik OTC (over the counter drugs) atau obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter maupun obat keras serta memberikan konseling kepatuhan untuk penyakit tertentu khususnya penyakit kronis. Secara detil, apoteker berperan dalam membantu pasien dalam melaksanakan swamedikasi, merekomendasikan agar pasien segera mencari nasehat medis yang diperlukan jika swamedikasi tidak memadai, mendorong masyarakat agar memperlakukan obat sebagai produk khusus yang digunakan secara tepat, disimpan secara hati-hati dan tidak boleh dipergunakan tanpa indikasi yang jelas, memantau dan memberikan laporan kepada BPOM dan menginformasikan kepada produsen obat mengenai efek tak dikehendaki, efek samping obat ataupun efek obat yang tidak diinginkan. Selain itu apoteker wajib memberikan informasi dan edukasi pasien tentang penggunaan obat psikiatri, mengenali adanya masalah gangguan mental melalui observasi dan skrining, menyediakan informasi dan referral bagi pasien yang membutuhkan penanganan, mengevaluasi penggunaan obat pasien, serta monitoring efek samping obat dan identifikasi gejala putus obat sebagai efek samping dari obat yang diresepkan untuk penderita gangguan mental. Gejala putus oat yang terjadi antara lain gangguan kognitif, neurologi dan intelektual, insomnia, cemas, hilang nafsu makan, turunnya berat badan, tremor, berkeringat, tinnitus (telinga berdenging) dan gangguan persepsi.
Pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi di era pandemik ini juga perlu digalakkan. Mengingat keterbatasan dalam melakukan tatap muka, maka apoteker juga harus menggunakan teknologi sebagai implementasi digital health di Indonesia. Digital health di berbagai negara sudah banyak digunakan, dan sebagai apoteker diharuskan untuk melek teknologi agar tidak tergerus oleh arus modernisasi. Pelayanan kefarmasian yang dapat diupayakan dalam management terapi pasien yang menderita gangguan mental yaitu dengan melakukan pelayanan obat secara elektronik, memberikan konsultasi obat secara elektronik/online dengan menggunakan platform chat yang sudah banyak digunakan oleh masyarakat luas seperti whatsapp dan Instagram ataupun menggunakan platform pertemuan virtual secara daring seperti zoom, webex meet, dan lain-lain. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obatnya, informasi efek samping dan untuk memberikan edukasi kepada pasien maupun keluarga pasien, dapat menggunakan aplikasi yang berbasis mobile apps maupun web.
Sebagai akademisi yang juga sebagai apoteker, sangat tergerak untuk berkontribusi dalam upaya mencapai keberhasilan terapi sehingga dapat tercapai angka kesembuhan dan penurunan angka kejadian sebagai upaya preventif kasus gangguan mental di Indonesia. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah pemberian edukasi bagi masyarakat luas menggunakan metode daring dengan topik : Self-Diagnosing dan Self-Medication Serta Peran Apoteker Terkait Preventif dan Terapi Pada Masalah Gangguan Mental. Kegiatan yang juga merupakan program Penelitian Pengabdian Masyarakat dan Inovasi (PPMI) ITB tahun 2021 ini telah dilakukan pada hari Sabtu tanggal 27 Februari 2021 dengan pembicara dr.Elvine Gunawan, Sp.Kj yang merupakan salah satu psikiater di RS Melinda Bandung dan Dr.apt. Lia Amalia dosen Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung dengan moderator Dr.apt. Pratiwi Wikaningtyas yang juga adalah dosen Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung.
Kesimpulan dari materi yang disampaikan oleh kedua pembicara adalah terkait modalitas ketahanan mental yang harus dipupuk serta Jangan takut untuk bertemu dan berkonsultasi dengan dokter ahli psikiatrik agar pasien langsung ditangani oleh ahlinya dan mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kondisi pasien. Lalu untuk pengobatan, selain patuh terhadap obat yang dikonsumsi juga mengatur pola makan sebagai penunjang keberhasilan terapi dan konsultasikan ke apoteker perihal obat.
Sebanyak 273 peserta mengikuti kegiatan ini. Animo peserta sangat terlihat dalam pelaksanaan kegiatan ini. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh peserta baik secara langsung maupun melaui kolom chat. Berdasarkan kuesioner yang disebar kepada suluruh peserta menunjukkan 95% peserta merasa sangat puas terhadap kualitas penyampaian materi dan mudah dipahami, 89% peserta sangat setuju bahwa kegiatan ini memberikan manfaat yang luar biasa pagi masyarakat umum. Peserta juga mengharapkan bahwa kegiatan edukasi ini dilakukan secara kontinu terlebih ditengah kondisi pandemik agar tiak mendapatkan informasi hoax.